Pelaksanaan 7 Ketentuan pokok tanam paksa

Jika dilihat dari peraturannya, 7 Ketentuan pokok tanam paksa (Cultuurstelsel) tidaklah terlalu membebani rakyat. Namun, pelaksanaannya jauh menyimpang dari ketentuan pokok tersebut. Hal itu erat hubungannya dengan kebijakan pemerintah kolonial yang memanfaatkan kekuasaan para bupati dan kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah dan menanam tanaman sebanyak-banyaknya.

Agar para pegawai Belanda maupun bupati dan kepala desa menunaikan tugas dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial yang terkenal dengan nama cultuurprocenten. Perangsang ini diberikan di luar pendapatan yang biasanya mereka terima.

Akibat dari sistem tanam paksa ini rakyat menderita lahir batin. Waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman dagangan ekspor lebih lama dibandingkan dengan waktu untuk memelihara tanaman bahan makanan.

Apabila dianggap lalai, mereka dihukum dengan hukuman cambuk. Selisih harga tidak pernah diserahkan kembali kepada petani, tetapi dikorupsi oleh petugas pengumpul. Selain itu, rakyat masih diharuskan melakukan kerja rodi sehingga waktu untuk menanam tanaman pangan sangat kurang. Akibatnya, terjadilah bahaya kelaparan.

Sementara itu, paham liberal berkembang di seluruh Eropa Barat, termasuk di Negeri Belanda. Para penganut liberalisme menghendaki agar kegiatan ekonomi diserahkan kepada usaha swasta tanpa campur tangan pemerintah.

Kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa mulai terdengar. Tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa dan menganjurkan pembukaan Indonesia untuk usaha swasta antara lain Baron van Hoevell dan Vitalis.

Pada tahun 1860, kaum liberal Belanda mendapat angin karena adanya 2 penerbitan yang secara jelas mengungkapkan penderitaan penduduk di Jawa akibat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan di bawah sistem tanam paksa.

Kedua tulisan tersebut adalah Max Havelaar yang ditulis oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Tulisan lainnya sebuah pamflet yang berjudul Suiker Contracten (Kontrak-kontrak Gula) yang ditulis oleh seorang pemilik perkebunan besar bernama Frans van de Putte.

Kedua tulisan tersebut merupakan senjata bagi kaum liberal untuk mendesak pemerintah Belanda agar membuka Indonesia bagi modal swasta Belanda. Setelah perjuangan cukup lama sejak tahun 1870 modal swasta Belanda mulai masuk ke Indonesia.

Tanam paksa untuk tanaman dagangan tertentu mulai dihapuskan setelah tahun 1860. Misalnya tanaman nila dan teh dihapuskan tahun 1865. Namun, untuk beberapa jenis tanaman lain khususnya kopi, penanaman paksa masih dipertahankan sampai akhir abad ke-19, bahkan di beberapa daerah sampai awal abad ke-20. Misalnya penanaman kopi secara paksa di daerah Parahyangan yang sebenarnya telah berlangsung sejak zaman VOC baru dihapus secara resmi pada tahun 1917.

Hasil sistem tanam paksa adalah meningkatnya penerimaan pemerintah Belanda sehingga berhasil menutupi defisit dan menaikkan tingkat kemakmuran masyarakat Belanda sendiri. Di lain pihak, sistem ini menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar bagi rakyat Indonesia.

0 Response to "Pelaksanaan 7 Ketentuan pokok tanam paksa"

Posting Komentar