System tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan kekerasan untuk mengejar keuntungan yang berlimpah. Ternyata tidak di terima baik oleh semua orang Belanda. Penderitaan rakyat yang tiada taranya karena pengorbanan tenaga, waktu, milik, bahkan martabatnya untuk kepentingan penjajahan asing, telah menggugah hati nurani sekelompok orang Belanda. Mereka melancarkan kritik terhadap eksploatasi rakyat Indonesia yang berlebih lebih indah.
Eksploitasi terhadap tanah dan pendudukan Indonesia yang dilakukan dengan system ekonomi liberal, ternyata mengubah nasib rakyat. Perusahaan raksasa asing yang diperkenalkan masuk dari Inggris, Amerika, Belgia, Cina, Jepang, dan perusahaan-perusahaan Belanda sendiri, sama-sama mengejar keuntungan yang tanpa batas tanpa memperhatikan kesejahteraan penduduk yang memberi keuntungan.
Ratusan juta golden mengalir ke kantong kapitalis. Politik eksploatasi itu juga menimbulkan kritik dari beberapa partai di negrei Belanda, tetapi karena mereka sendiri terlibat dalam system itu maka kritik itu maknanya menjadi kabur. Ekspansi yang dilakukan Belanda di daerah-daerah yang belum dikuasainya menjelang akhir abad ke 19 tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme itu.
Dengan pesatnya perkembangan kapitalisme pada awal abad 20, seperti produksi gula yang naiknya berlipat dua antara tahun 1904 dan 1914, hasil produksi dari pembukuan daerah luar jawa (perkebunan dan tambang) dari 74 menjadi 305 juta golden, maka pertahanan daerah jajahan makin di perkuat. Pemerintah kolonil dengan birokrasinya menjadi kepentingan-kepentingan modal sebaik-baiknya. Akibatnya ialah bahwa tekanan terhadap rakyat semakin kuat, dan pembelaan haknya terhadap keganasan kapitalisme modern semakin lemah dan kemerosotan kesejahteraan hidupnya semakin pesat.
Rakyat semakin kehilangan hak miliknya yang utama, yaitu tanah, bahkan industri rakyat pun mulai terdesak ke belakang. Karena penderitaan ini, lama-kelamaan timbullah golongan yang sama sekali tidak mempunyai tanah dan muncullah golongan buruh yang bekerja pada perkebunan, pabrik dan tambang. Untuk menunjang pesatnya kemajuan kapitalisme itu, sarana-sarana bantu di ciptakan seperti pembuatan jalan raya, jalan kereta api, Bandar dan sarana telekomunikasi.
Tumbuhnya kesadaran perikemanusiaan dalam hubungan kolonial, yang melahirkan keinginan untuk memperhatikan nasib rakyat pribumi menjadi program semua partai politik di negeri Belanda. Pandangan itulah yang kemudian dikenal sebagai haluan etis yang kemudian melahirkan politik etis. Politik itu kemudian didukungan oleh politik asosiasi yang memandang perlunya kerja sama yang erat antara golongan Eropa dan rakyat pribumi untuk kemajuan tanah jajahan. Sudah tentu kemajuan yang dimaksud itu adalah dalam rangka system kolonial.
Akhirnya sikap paternal (membapaki) dalam politik kolonial mulai tampak dalam pidato tahta ratu Belanda pada tahun 1901, dimana dimana dinyatakan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi dari penduduk Hindu politik etis mulai dilaksanakan dengan pemberian bantuan sebesar 40 juga golden.
Begitulah selama periode antara tahun 1900-1914 pemerintahan kolonial mulai memperhatikan aspirsi rakyat Indonesia yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Dicarilah bentuk pemerintahan kolonial yang merupakan suatu system dimana barat dan timur dapat hidup berdampingan dan yang memberi kemungkinan untuk mempersatukan kedua unsur dalam suatu kesatuan politik. Juga terlihat selama periode tahun 1900-1925 banyak kemajuan serta perubahan. Bangunan-bangunan besar di dirikaan, kesemuanya merupakan keharusan dalam kemajuan yang tidak dapat dielakkan. Di antaranya ialah: Desentralisasi, perubahan perubahan pemerintah, perbaikan kesehatan rakyat emigrasi (transmigrasi), perbaikan pertanian dan peternakan, pemangunan irigasi dan lalulintas.
Pada tahun 1903 diumumkan undang-undang desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal, yang mempunyai wewenang membuat peraturan-peraturan tentang pajak dan urusan bangunan umum (yang sekarang di kelola oleh PUTL). Pada tahun 1905 didirikan dewan kota di Jakarta, Jatinegara dan Bogor dan sudah tentu mayoritas anggotanya orang Belanda dalam rangka desentralisasi ini secara berangsur-angsur dibentuk provinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom.
Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut diadakanlah dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan, dan peternakan. Pada bidang pendidikan di lakukan perluasan pengajaran pada tahun 1907. Dan sehubungan dengan perluasan aktivitas pemerintahan kolonial didirikan departemen-departemen baru. Departemen pertanian (1904), departemen perusahan-perusahaan Negara yang pada tahun 1911 digabung menjadi departemen pertanian, industri dan perdagangan.
Untuk meningkatkan kesehatan rakyat, dilakukan pemberantasan penyakit menular, seperti pes, kolera, kolera dan sebagainya. Untuk mengurangi penduduk pada daerah-daerah yang padat di Jawa, karena makin meluasnya perkebunan dan bertambahnya penduduk dilakukan transmigrasi. Mula-mula dari daerah Jawa Tengah ke ujung Jawa Timur untuk bekerja pada perkebunan tebu. Transmigrasi ke daerah luar jawa dikirimkan sebagai tenaga kerja ke daerah perkebunan Sumatra utara, khususnya di Deli. Sedangkan transmigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.sejak permulaan abad ini telah dilakukan perluasan pengajaran baik sekolah umum maupun kejuruan dalam berbagai tingkat. Begitu pun beberapa jenis perguruan tinggi pertanian di bogor (1902) dan perguruan tinggi hukum (1909). Pada masa ini sekolah swasta mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Untuk meningkatkan pertanian, pemerintah membangun system irigasi yang luas, seperti irigasi Brantas di Jawa Timur. Untuk kepentingan petani dan rakyat kecil didirikan bank-bank kredit pertanian, bank padi, bank simpanan dan rumah-rumah gadai. Koperasi juga didirikan, tetapi kurang mendapat kemajuan. Meskipun usaha ini tidak berhasil mendorong produksi pribumi, tetapi telah berhasil mendidik rakyat mengenai penggunaan uang.
Meskipun pemerintah telah dapat melaksanakan pembangunan di berbagai bidang akan tetapi oleh karena tujuannya terutama sekali adalah untuk kepentingan negeri induk dan kaum kapitalis, Belanda hasilnya tidak begitu terasa oleh rakyat. Bahkan kehidupan rakyat makin tergantung kepada pengusaha dan pemilik modal sebagai penyewa tanah dan tenaganya. Tingkat kehidupan ekonomi rakyat tetap rendah. Perbedaan di bidang ekonomi, sosial dan politik antara golongan asing dengan golongan pribumi sangat besar. Bahkan diskriminasi berdasarkan warna kulit semakin tajam.
Karena menguntungkan, perbedaan yang menyolok tersebut tetap dipertahankan. Perkembangan yang didasarkan atas politik kesejahteraan serta politik asosiasi menimbulkan golongan intelektual Indonesia yang penuh dengan kesadaran akan harga dirinya dan sebaliknya sadar akan keadaan serba terbelakang dari masyarakatnya. Timbullah dari kesadaran kaum intelektual Indonesia itu aspirasi-aspirasi untuk mencapai kemajuan yang mereka anggap menjadi haknya dan hak masyarakatnya.
Selama masa 1900-1914 terdapat suasana baik bagi politik etis dan tidak banyak terdengar kritik terhadapnya. Tetapi sejak 1914 masyarakat mulai bergolak dan banyak dilancarkan kecaman-kecaman bahwa politik etis telah gagal. Dalam kecaman itu telah di utarakan bahwa politik paternalistis tidak memperhitungkan hasrat kepada pribumi sendiri setelah ada kesadaran pada mereka. Begitupun dengan munculnya pergerakan nasional, maka politik asosiasi praktis kehilangan dasar eksistensinya.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan kecenderungan kearah radikalisasi, baik pada pihak pribumi maupun pada pihak Eropa. Pada pihak pribumi lebih radikalnya pihak pergerakan nasional disebabkan oposisi yang dilakukan ditandai oleh perbedaan ras, sedangkan kebebasan dan kemerdekaan diberi prioritas lebih tinggi dari pada kesejahteraan.
Menghadapi keadaan baru yang tumbuh di kalangan rakyat tersebut, di pihak kolonialis terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menganjurkan untuk menggantikan politik bevoogding (mendewasakan) di mana sikap keras dan mengencam lambat laun harus dikurangi. Golongan yang menyokong hindianisasi (indonesianisasi) menganjurkan supaya nasionalisme dihadapi dengan meluaskan lembaga-lembaga pengajaran, aparat pemerintah dalam bidang sosial dan mencegah penggunaan ukuran barat. Dengan demikian secara langsung dikehendaki agar nasionalisme Indonesia diakui secara resmi. Pihak para penguasa terutama gubernur jendral, sangat menguatirkan perkembangan itu, oleh karena dipandang dapat mengancam kelangsungan hidup kolonialisme Belanda. Tentangan serupa juga terdapat di kalangan Belanda yang konservatif, baik penjabat pemerintah maupun pengusaha-pengusaha.
0 Response to "Politik kolonial pada peralihan abad ke 1920"
Posting Komentar