Elite nasional dan nasionalisme Indonesia baru

Dalam masyarakat umum dikenal adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah petani petani kaya dan pegawai.

Adapun lapisan atas terdiri atas keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dengan gelar yang berbeda sesuai tingkat hubungan mereka dengan raja. Boleh dikatakan sifatnya yang turun-temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu mereka sebagai elite biasa disebut elite tradisional atau daerah yang di sebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat.

Di samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga elite temporer atau disebut juga elite agama. Disini kedudukan mereka di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucu. Hal ini kita jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama dan kyai yang sangat berpengaruhi tidak hanya di daerahnya tapi jauh melampaui batas batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan terkadang pengaruh dan peranan mereka melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. Perlawanan-perlawanan daerah terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik ditujukan terhadap kolonisasi dan kapitalis asing terhadap elite tradisional.dipimpin oleh elite agama.

Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik berupa pesantren maupun surau. Oleh karena nasionalisme Indonesia baru tumbuh sejak kebangkitan nasional tahun 1908, maka elite yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia masih bersifat kedaerahan, mereka hanya terpandang dan di hormati terbatas dalam lingkungan daerah masing-masing. Kekuasaan pemerintah kolonial belanda yang telah mengusai daerah-daerah di Indonesia ternyata tidak mengubah kedudukan golongan elit tersebut, meskipun di atas mereka sendiri ada lagi elite yang lebih tinggi yaitu elite kulit putih.

Hal ini memang di sengaja oleh pemerintah kolonial sebab makin utuh masyarakat tradisional semakin baik. Karena dengan begitu mobilisasi penduduk untuk keperluan eksploitasi ekonomi akan lebih baik dan ikatan budaya dan politik antara Hindia Belanda dan negeri induk akan lebih terjamin. Di samping itu luasnya daerah Indonesia dengan berbagai macam ragam adat dan kebiasaan untuk mengaturnya dengan baik dan lancar tentu menghendaki suatu administrasi kolonial yang besar dan mahal.

Untuk menghemat biaya, tenaga bangsa Indonesia dipergunakan untuk membantu kelancaran administrasi pemerintah koloni dan untuk itu kekuasaan mereka tetap di pertahankan. Dengan demikian pemerintah Belanda memelihara penguasa tradisional dalam menghadapi rakyatnya sendiri, akan tetapi hal itu juga akan memperlemah mereka dalam berhadapan dengan pemerintah Belanda.

Keadaan tersebut diatas mulai berubah setelah hasil dari politik etis yang dijalankan di Indonesia kelihatan pada akhir abad ke 19. Perluasan pengajaran, baik dalam bidang ilmu, tingkatannya maupun penyebaran sekolahanya, makin menarik perhatian rakyat. Sekolah kemudian di anggap sebagai alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru ”hidup kepriyayian” bagi golongan bawah dan untuk menambah dasar legitimasi bagi golongan atas.

Di beberapa daerah seperti Sumatra barat dan Jawa pentingnya penguasaan ilmu sebagai hasil pendidikan sekolah dikaitkan dengan dapat tidaknya seorang itu menjadi pegawai. Sultan Hamengkubuwono VIII umpamanya pada akhir abad ke 19, mengharuskan adanya ijasah bagi seorang anak yang akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pejabat pemerintah. Di samping itu pengaruh penetrasi ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat Indonesia makin kelihatan baik karena pembukaan perkebunan-perkebunan besar, pembangunan pabrik-pabrik maupun kedudukan uang sebagai alat penukar yang makin penting.

Kedua hal tersebut telah memungkinkan terjadinya pergeseran dan perubahan status sosial seseorang. Dengan demikian kita lalu mengenal bermacam-macam elit Indonesia baru, seperti elite politik elite budaya, elite agama, dan sebagainya yang karena kesemuanya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan nasional, di sebut elit nasional.

Seiring dengan pertumbuhan masyarakat disegala bidang maka kota kota besar yang menjadi pusat pengajaran dan pendidikan perdagangan dan industri lebih menarik perhatian generasi muda dari pada kota kota yang hanya merupakan tempat pemerintahan saja. Karena pusat-pusat tersebut terbatas hanya pada beberapa kota saja, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Maka ia merupakan tempat bertemunya pelajar-pelajar dan pemuda-pemuda dari berbagai daerah yang berbeda adat istiadat dan kedudukan sosial mereka. Ilmu yang sama-sama mereka terima pada bangku sekolah memberikan kepada mereka suatu pola pikir yang sama mengenai sesuatu.

Dengan demikian sekolah juga berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara mereka, sehingga memudahkan pendekatan sesama mereka/ Contoh mengenai ini dapat dilihat pada masa awal kebangkitan nasional dan para partai partai politik. Diperkenalkan berbagai macam ilmu di sekolah dan masuknya paham-paham baru, memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesimpulan bersama yang diperoleh menunjukkan adanya kesamaan nasib yang buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk memperbaikinya.

Bersamaan dengan timbulnya elite nasional karena pengaruh politik etis, kebangkitan Islam juga mendorong pertumbuhan elite nasional. Pembaharuan dalam pengajaran islam seperti yang dilaksanakan oleh muhammadiyah, serikat Islam dan lain lain, mungkin seorang ulama atau kyai suatu daerah juga menjadi tokoh nasional di bidang politik, sosial dan sebagainya. Pelajar pelajar STOVIA dan kemudian anggota Budi Utomo mengambil kesimpulan bahwa tanpa perluasan pengajaran, kemajuan bangsa Indonesia akan lambat sekali.

Sarekat Islam berpendapat tanpa meningkatkan persatuaan dan kerja sama antara semua pedagang pribumi, maka kekuasaan kapitalis asing Cina dan barat akan sulit di atasi. Pemikir dari elite nasional seperti Moh. Hatta, menyatakan pokok pikirannya sebagai berikut:

"Bahwa ekonomi bangs Indonesia harus dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong melalui sarana koperasi".

Tjokroaminoto menyebut kapitalisme asing sebagai sondik kapitalisme (capital berdosa) Karen menyengsarakaan rakyat. Untuk itu rakyat harus dibangun dan dibimbing kearah persatuaan dan kerjasama yang kuat. Dalam anggaran dasar dan program kerja banyak partai-partai dan organisasi daerah, kelihatan tekad bahwa hanya dengan persatuaan dan kesatuaan semua cita-cita untuk meningkatkan martabat bangsa dapat dicapai.

Sesuatu yang menarik juga dalam timbulnya elite nasional ini ialah perjuangan golongan indo yang dalam masyarakat kolonial dianggap rendah dan kurang mendapat kesempatan. Beberapa orang tokohnya seperti Douwes Dekker melalui indische partij muncul sebagai anggota elite nasional Indonesia karena tujuan perjuangan adalah menciptakan suatu persatuaan nasional dari semua golongan yang ada di Indonesia dalam suatu Negara merdeka. Disamping itu, perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan di Indonesia juga telah membantu proses timbulnya elite tersebut.

Penderitaan yang dialami sebagai rakyat terjajah, telah menimbulkan pada rakyat mitos-mitos seperti ratu adil, ramalan joyo boyo, dan sebagainya. Kepada tokoh-tokoh seperti HOS Tjokoaminoto yang dianggap seperti ratu kemudian digantugkan harapan perbaikan nasib rakyat. Muncullah waktu itu tokoh-tokoh yang berpengaruh dikalangan rakyat, seperti HOS Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Sutomo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus salim, Abdul Muis, K.H Ahmad Dahlan, dan Semaun, pada masa awal pergerakan nasional dan kemudian Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Sultan Syahrir, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Muhamaad Husni Thamrin, G.S.S.J. Ratu Langi dan banyak lainnya lagi pada waktu berikutya.

Jelas bahwa pengaruh system pendidikan barat adalah sangat menonjol dalam menumbuhkan elite nasional. Dengan ilmu mereka menghasilkan ide dan pemikiran sendiri untuk memajukan masyarakat. Begitupun keahlian seseorang dalam suatu ilmu telah mendesak keturunan sebagai ukuran bagi penentuan status seseorang. Dapat dikatakan bahwa pada masa pergerakan nasional secara keseluruhan status bangsawan atau elite tradisional merosot bahwa telah dilampaui oleh golongan intelektual atau elit nasional.

Elit nasional yang telah mempunyai dasar baru dalam memandang masyarakat sekitarnya, yaitu nasionalisme Indonesia, berusaha mengubah pandangan yang bertolak dari lingkungan daerah masing masing. Walaupun telah memiliki pola berpikir yang sama namun karena berasal dari tingkat social dan ekonomi serta daerah yang berbeda beda masih terdapat juga perbedaan di dalam cara mereka memandang lingkungannya. Halite jelas member warna kepada perumusan asas asas dan cita cita.

Namun mereka yakin bahwa cita cita kemerdekaan Indonesia hanya akan tercapai apabila nasionalisme telah tumbuh dengan subur sehingga merupakan kekuatan yang merata yang mengikat semua suku bangsa di Indonesia dalam ikatan persatuan nasional yang kokoh. Mereka pun sadar bahwa untuk mempercepat proses tercapainya hal tersebut perlu disusun organisasi rakyat dengan membentuk partai dan perserikatan massa yang mempunyai keanggotaan yang luas.

Selaras dengan modernisasi yang terjadi di Indonesia, meluasnya pengajaran dan perkembangan media komunikasi massa telah menguntungkan elite nasional dalam menyebarluaskan tata pikir nasionalisme kepada seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu makin luasnya penggunaan bahasa Indonesia (melayu) pada penduduk yang bukan berbahasa melayu, telah mempermudah usaha “national building”, sebab penjelasan mengenai ide nasional tidak hanya dapat dimengerti oleh golongan atas saja, melainkan juga oleh golongan bawah.

Namun dirasakan waktu itu bahwa komunikasi yang paling tepat adalah melalui pendidikan sekolah. Karena itu baik partai partai maupun organisasi massa bahkan perorangan, berlomba-lomba memberikan pendidikan dan pengajaran kepada rakyat. Sejak dari Budi Utomo, serekat Islam, indische partaij, muhamaddiyah, PKI, PNI, sampai pada ke partai-partai sesudah tahun 1930 seperti partindo, gerindra, parindra dan sebagainya, melaksanakan hal tersebut. 

Media pers, yang dipandang paling jauh jangkauannya, juga dipergunakan dan dalam puluhan surat kabar dan majalah yang terbit dalam lingkungan elite nasional, selalu diserukan agar rakyat Indonesia bangkit dan bersatu padu menghadapi kolonialisme, imperialisme, kapitalisme. Bahwa tidak akan mungkin mencapai kemerdekaan apabila persatuan dan kesatuan seluruh rakyat tidak tergalang.

Puncak dari peranan elite nasional dalam menumbuhkan nasionalisme tercapai dengan diikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 dalam kongres pemuda Indonesia di Jakarta. Satu nusa satu bangsa satu bahasa :Indonesia. Disini dengan tegas telah dicamkan ide nasionalisme Indonesia dalam hati sanubari rakyat di seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke.

0 Response to "Elite nasional dan nasionalisme Indonesia baru"

Posting Komentar