Secara formal penduduk daerah pantai utara Irian Jaya memeluk agama Kristen. Hal ini berkat usaha Pemerintah Belanda waktu masih menduduki Irian Jaya dengan mendatangkan guru-guru agama dari Ambon. Setiap Minggu mereka pergi ke Gereja, namun tidak semua untuk melakukan peribadatan yang dipimpin oleh guru agama Kristen atau wakilnya yang disebut Pinetua. Mereka nampaknya belum menghayati makna dari ajaran agama yang baru tersebut, karena masih begitu kuatnya kepercayaan mereka (agama aslinya).
Dalam keyakinan mereka percaya bahwa jiwa orang yang mati akan melepaskan diri dari tubuhnya dan menjadi roh (kepka) dalam waktu yang berangsur-angsur. Dalam proses itu ia masih berada di sekitar rumah tempat tinggalnya.
Itulah sebabnya keluarga si wafat diasingkan dalam rumah tertentu agar tidak menulari masyarakat dengan suasana kewafatan dan kepka dari si wafat itu. Bila sudah terlepas dan bebas dari ikatan kepada dunia yang fana ini, roh pergi ke alam baka yang konon katanya berupa suatu gunung yang bernama Tardongsau di daerah hutan rimbanya di hulu-hulu sungai. Di sana roh-roh itu dibayangkan sebagai hidup seperti di dunia nyata ini.
Orang-orang Bgu juga percaya kepada suatu jiwa kedua yang mereka sebut tnikenya (kenya = anak). Maksudnya bahwa orang Bgu membayangkan jiwa ini sebagai anak kecil dalam tubuh. Kecuali roh-roh yang berasal dari orang-orang yang meninggal, alam sekitar tempat tinggal manusia juga didiami oleh berbagai macam roh yang baik ataupun yang jahat, seperti misalnya buaya jadian, jin buaya, jin ular naga, hantu kayu dan sebagainya.
Dalam kehidupan keagamaan di pantai utara Irian tidak ada upacara keagamaan besar-besaran yang memakan biaya, tenaga dan yang menghubungkan atau mengembangkan secara luas hubungan antar kelompok.
0 Response to "Kepercayaan penduduk pantai utara Irian Jaya"
Posting Komentar